Perbedaan dan Kesamaan si Kembar

MENDENGAR kata kembar, pikiran kita akan langsung membayangkan segala sesuatu yang sangat mirip. Begitu pun dengan anak kembar. Anggapan bahwa anak kembar akan memiliki kesamaan dalam banyak hal masih berakar kuat.

Ternyata, tak semua anak kembar kembar memiliki kesamaan yang dalam banyak hal. Contohnya anak kembar tiga pasangan Dewi Said dan Doddy. Kembar yang terdiri dari dua anak perempuan dan satu anak laki-laki ini masing-masing memiliki wajah, sifat dan kesenangan yang berbeda. Bahkan jenis darah mereka pun berbeda. Dua orang ikut jenis darah ibunya dan seorang lagi sejenis dengan ayahnya.

Meski usia Regina, Avina dan Ryan baru sekitar satu tahun, tapi perbedaan wajah dan postur tubuh sudah terlihat jelas. Ada yang berkulit lebih putih dari yang lain, berpostur lebih tinggi dan bentuk wajah yang berbeda.

Karakter ketiga anak-anak mereka inipun disadari juga berbeda. Dua putrinya terlihat lebih cepat mengerti dan mandiri, serta tidak mudah menangis. Sementara anak laki-lakinya yang berdasarkan urutan menjadi si bungsu, justru lebih cengeng dan selalu menuntut perhatian lebih.

Perbedaan seperti itu, kata psikolog Armin Harry, wajar saja. Karena pada umumnya anak-anak dilahirkan benar-benar seperti kain putih. Pembentukan karakternya tergantung dari pelukisnya. Bila diberi warna merah, maka ia akan berwarna merah dan seterusnya.

Dalam ilmu kedokteran memang dikenal ada dua macam kembar. Pertama kembar identik, yaitu berasal dari satu telur. Kembar jenis ini akan menunjukkan ciri-ciri yang sangat mirip. Baik wajah, postur maupun sifat. Jenis kedua adalah tidak identik, yaitu bila si kembar tidak berasal dari satu telur. Pada kembar golongan inilah yang menunjukkan masing-masing anak akan berbeda. Bahkan ada yang sangat berbeda seperti bukan kembar. Jadi tidaklah benar bahwa saudara kembar akan selalu memiliki kepribadian yang sama.

Karakter

Lalu bagaimana dengan karakter saudara kembar ini? Menurut Armin, faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakter atau keprobadian ini adalah faktor eksternal atau faktor luar. Sedangkan faktor dalam walaupun ada namun tidak sebesar faktor luar.

Hal itu lebih dahulu dikemukakan oleh psikolog Johann Friederische Herbart asal Jerman dengan teori asosiasinya yang mengatakan, anak yang baru lahir keadaan jiwanya masih bersih. Sejak alat indranya dapat menangkap sesuatu yang datang dari luar, maka alat indra itu mengirimkan gambar atau tanggapan ke dalam jiwanya. Makin banyak tangkapan makin banyak pula tanggapan. Di dalam jiwa, tanggapan-tanggapan ini beraosiasi sesamanya, dengan kekuatan yang dapat diukur. Tanggapan yang sejenis berasosiasi dan yang tidak akan akan tolak menolak secara mekanis, makin lama makin banyak

Jadi kesamaan antara anak-anak yang kembar kebanyakan didorong oleh faktor luar. Misalnya karena orang tua yang menyama-nyamakan. Misalnya dengan memberikan pakaian yang persis sama, mainan yang sama dan perlakuan 'menyamakan' lainnya.

Semua itu sebenarnya sah-sah saja. Tapi yang jelas orang tua harus benar-benar menyadari bahwa anak-anak mereka adalah individu yang berbeda, sehingga jika kelak menemukan perbedaan pada anak kembarnya mereka tidak kaget.

Seperti juga Dewi dan Doddy, yang sepakat untuk membebaskan anak-anak mereka berkembang sesuai keinginan anak-anak itu dan tidak berusaha menyama-nyamakan. Terlihat dari nama mereka yang tidak terlalu dekat kesamaannya. Biasanya orang tua memberi nama anak kembar mereka dengan Nina dan Nani atau Tita dan Tati, atau nama lain yang hanya dibedakan satu atau dua huruf.

Pengalaman Upi dan Nita, yang sekarang berusia sekitar 20 tahun mungkin bisa menunjukkan bahwa bagaimana pun perbedaan itu ada, di luar dari jenis kelamin. Sewaktu kecil, Nita meniru semua prilaku Upi, sehingga bertingkah kelaki-lakian. Semua permainan Upi diikutinya.

Seiring bertambahnya usia, dan akhirnya Nita mulai mengenal dunia remaja dan jatuh cinta, ia lalu mulai berubah dan meninggalkan penampilan kelaki-lakiannya. Mulailah ia menyukai rok dan kosmetika remaja. Sehingga mereka berdua semakin berbeda.

Ikut-ikutan sakit

Cerita - kalaupun bukan keluhan - yang paling banyak didengar dari orang tua yang memiliki anak kembar adalah kerepotan mereka saat si kembar menunjukkan "solidaritas" gangguan kesehatan.

"Kalau yang satu sakit, yang lain hampir pasti juga akan sakit," cerita Dewi yang sehari-harinya sebagai Manajer Wisma Batung Batulis. Meski tidak bersamaan, tapi juga tidak berjarak waktu jauh, tambahnya dengan wajah menggambarkan rasa kasih terhadap anak-anak tercintanya.

Mengenai kasus ini, Armin yang jebolan Fakultas Psikologi Gajah Mada dan sekarang aktif di Psiko Utama, mengatakan karena si kembar - seperti manusia pada umumnya - memiliki empati terhadap orang lain yang sakit. Apalagi yang sakit itu saudaranya.

Kemampuan berempati menyebabkan ia bisa merasakan sakit saudaranya, dan akhirnya ikut sakit pula.

Penjelasan secara medis barangkali lebih mudah diterima. Karena anak kembar berada dalam satu lingkungan yang dekat ditambah dengan kemungkinan kesamaan jenis darah, maka anak yang sehat lebih mudah tertular penyakit saudaranya.

Menanggapi adanya sejumlah kepercayaan di masyarakat yang menyatakan kembar pengantin harus dipisahkan sementara untuk menghindari terkena penyakit berat, maka penjelasan secara psikologis adalah agar perhatian orang tuanya tidak terlalu terbagi. Kemudian juga kondisi kesehatan baik anak maupun ibu akan lebih terperhatikan. Karena itulah biasanya salah satu anak kembarnya diberikan bukan kepada orang lain tetapi saudara sendiri atau orang yang dianggap sangat dipercaya.

Dan yang jelas mengurus anak kembar, pastilah lebih repot dari mengurus satu anak. Namun kerepotan itu rasanya tertebus dengan menyaksikan kelucuan anak-anak ini. Apalagi adanya rasa kasih yang tulus, membuat kerepotan itu menjadi suatu kebahagiaan.mariatul kiptiah

Source: indomedia.com

Multiples.About