Di Kolong Ibu Kembar Mengajar


Sepasang saudara kembar mencurahkan hidup untuk anak-anak miskin. Mereka membangun sekolah darurat dan menyalurkan murid ke dunia kerja.

Di Jakarta ini sangat sulit mencari orang seperti Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih. Dua perempuan kembar ini bukan hanya dermawan, melainkan juga mendedikasikan hidup untuk mengajar anak-anak miskin.

Ibu Kembar, begitu mereka biasa dipanggil. Mereka kini berumur 57 tahun. Seperti biasanya, pekan lalu keduanya berada di Sekolah Darurat Kartini Lodan, Ancol, Jakarta Utara. Sri Rosiyanti yang biasa disapa Bu Rosi sibuk mengawasi dua murid sekolah dasar sedang menyulam alas meja. Sementara Sri Irianingsih yang akrab disapa Bu Ryan sibuk mengajar matematika untuk anak kelas III sekolah dasar.

Tiap pukul 6 pagi Ibu Kembar meninggalkan rumah mereka di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, untuk mengajar. Sebelum sampai sekolah mereka berbelanja untuk kebutuhan para murid. Belanjaan mereka macam-macam, mulai dari perlengkapan sekolah hingga bahan makanan untuk konsumsi 420 murid.

Sekolah gratisan itu menempati lahan 100 meter persegi. Atapnya jembatan layang jalan tol dan dindingnya kayu lapis. Bangunan sekolah itu hanya mempunyai satu pintu, tanpa jendela. Ruang kelas juga tak ada. Meja serta papan tulisnya buatan sendiri, dan tampak kasar. Tempat duduknya kursi plastik. Beberapa bagian lantai belum kering, baru saja ditambal. Seorang tukang batu masih sibuk menambal bagian lain lantai yang juga rusak.

Hebatnya, sekolah sempit ini memiliki 420 murid, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah umum. Semua murid menggunakan ruang yang sama. Mereka tumplek-­blek bagai ikan pindang dalam satu ruang.

Karena sekolah itu di bawah jembatan layang jalan tol, suara bising kendaraan terdengar dari ruang belajar. Namun para murid tak hirau, dan menganggap suara itu bagai angin lalu saja.
Setiap tahun sekolah ini meluluskan 100 murid dari berbagai tingkat, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah umum. "Saya bangga, senang, dan menikmati," kata Bu Rosi.

Ibu Kembar menjalani aktivitas ini sejak 1990. Mulanya mereka membuka sekolah darurat di Jembatan Tiga, Jakarta Barat. Enam tahun kemudian sekolah itu dipindah ke Lodan, Ancol. Ternyata sambutan orang tua murid sangat positif. Bahkan para preman di wilayah itu mendukung aktivitas Ibu Kembar, sehingga aman dari penggusuran dan gangguan lain.

Ide membuka sekolah bagi anak-anak miskin muncul saat Sri Rosiyanti melintas di kawasan Pluit, Jakarta Utara, tahun 1990. Saat itu terjadi tawuran yang melibatkan anak-anak dan remaja. Ia terpaksa berhenti dan menitipkan mobilnya di sebuah gudang untuk menghindari batu-batu yang beterbangan. Saat melihat tawuran itu ia menyaksikan rumah-rumah kardus di bawah jalan tol.

"Betapa kasihan mereka, hidup sengsara," katanya. "Tanpa pendidikan, mereka tidak akan hidup layak seperti manusia lainnya yang sudah bermartabat."

Sri Rosiyanti tak mau diam saja dan hanya menyalahkan pemerintah yang tidak berbuat apa-apa. Sejak itu ia bertekad membuat sekolah bagi warga permukiman kumuh. Pada 1996, adiknya, Sri Irianingsih, bergabung sepulang mengikuti suami yang berdinas di pedalaman Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Ibu Kembar pun memulai kegiatan sosial ini dengan modal sendiri. Bu Rosi memang tidak mau menerima bantuan lembaga asing, yang dianggapnya terlalu mengatur. Ia pernah didatangi lembaga asing yang menjanjikan bantuan tapi dengan syarat tidak boleh mengajarkan baca-tulis. Tentu saja ia menolak. "Kamu tak boleh mengatur. Ini negara saya," ujarnya tegas.

Untuk membiayai sekolah itu, Ibu Kembar mengeluarkan Rp 25 juta per bulan dari kantong pribadi. Uang itu digunakan untuk konsumsi para murid, gaji guru,perawatan sekolah, dan keperluan lain. Uang sebanyak itu ia ambil dari cara memotong 25% penghasilan suami Bu Rosi yang merupakan dokter spesialis kandungan.

Sebelum membuka sekolah darurat, Bu Rosi pernah menjadi guru sukarela untuk anak-anak pedalaman di Kalimantan. Saat itu ia mengikuti suaminya yang bertugas di pedalaman Kalimantan. Maklum, anak ke tujuh dari delapan bersaudara ini lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Dengan menjadi guru sukarela, ia bisa mempraktikkan ilmunya sebagai sarjana pendidikan.

Jiwa kedermawanan Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih tidak datang tiba-tiba. Sikap murah hati memang dipupuk ayah mereka sejak kecil. Sang ayah, Edi Soeharno, insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Ibunya, RA Soeminah, guru kepandaian putri. Dua sosok yang paling dikagumi itulah yang membentuk kepribadian Ibu Kembar.

Ibu Kembar sangat terkesan pada salah satu tindakan ayahnya waktu mereka masih kecil. Ayahnya yang merupakan "tuan tanah" membagi-bagikan berhektare-hektare tanahnya untuk warga miskin di Semarang. Bahkan, saking pemurahnya, sang ayah rela "hanya" menyisakan 600 meter persegi tanah untuk keluarganya.

Upaya Ibu Kembar mendirikan sekolah darurat sejak 1990 bukan tanpa hasil. Saat ini banyak mantan muridnya yang sudah "jadi orang". Ada yang menjadi polisi, tentara, wartawan, manajer, dan pengusaha. Kini Ibu Kembar sering menyalurkan mantan anak didiknya untuk bekerja di mal-mal yang makin marak di Jakarta.

Tapi itu semua bukan akhir dari mimpi Ibu Kembar. Ia masih punya cita-cita lain. Ia ingin membuat asrama bagi anak-anak jalanan. "Anak gelandangan saya ambil, saya asramakan, saya sekolahin," kata Bu Ryan.

Source: vhrmedia

Multiples.About